Rudal diluncurkan Korut dari kapal selam. (KCNA)
PYONGYANG - Korea Utara melancarkan aksi provokasi dengan menembakkan rudal Hwasong-15 pada Rabu 29 November 2017. Misil itu diperkirakan bisa mencapai Washington DC, yang menjadi jantung pemerintahan Amerika Serikat.
Berkali-kali, Pyongyang kerap mengumbar ancaman. Di sisi lain AS beserta Korea Selatan dan Jepang kerap menggelar latihan militer yang bikin rezim Kim Jong-un meradang.
Banyak yang memprediksi, krisis di Semenanjung Korea akan menjelma jadi konflik terbuka. Dan, bukan kali ini saja perang diramalkan pecah.
Sebuah dokumen rahasia lawas yang dipublikasikan pada Jumat 8 Desember 2017 mengungkapkan bahwa AS nyaris berperang dengan Korut.
Seperti diungkap dalam dokumen rahasia itu, kala itu AS yakin, kekuatan militernya, ditambah dengan kemampuan angkatan bersenjata Korsel, pasti dapat memenangkan konflik di Semenanjung Korea. Prediksi itu dibuat pada 1994, di tengah kebuntuan soal ambisi nuklir Korut.
Namun, dalam dokumen itu tertulis -- bahkan jauh sebelum Korut mengembangkan sejata nuklir -- Pentagon saat itu memperkirakan, banyak korban yang akan jatuh.
Sebanyak 490 ribu tentara Korsel dan 52 ribu anggota pasukan AS diprediksi tewas atau terluka dalam tiga bulan pertama konflik.
Prediksi tersebut tak menyinggung soal potensi korban dari pihak Korut atau warga sipil. Namun, analis menyebut, jumlahnya bakal luar biasa.
Jika konflik pecah saat ini, hasilnya bakal lebih mengerikan. Sebab, kemampuan tempur Korut sudah jauh dibanding pada 1994. Rudal Pyongyang bahkan diklaim bisa menjangkau daratan AS.
Pada tahun itu, pemerintahan Presiden Bill Clinton mempertimbangkan sebuah serangan rudal jelajah ke sebuah kompleks nuklir Korea Utara, yang memulai proses defuelling reaktor.
Reaktor itu dilaporkan bisa menyediakan material fisil untuk pembuatan bom nuklir pertama milik Korea Utara.
Untungnya, sebelum pertempuran pecah, mantan AS Presiden Jimmy Carter bertolak ke Pyongyang untuk menemui pendiri Korut, Kim Il-sung.
Pertemuan tersebut membuahkan hasil. Korea Utara sepakat membekukan program senjata nuklirnya dan berdialog dengan AS.
Perjanjian pelucutan senjata tersebut bertahan selama hampir satu dekade, meski diwarnai percikan konflik.
"Kami telah mengambil posisi yang sangat kuat: tak akan mengizinkan Korut membuat bom nuklir," kata William Perry, yang pada 1994 menjadi menteri pertahanan, seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (9/12/2017). "Kami bersungguh-sungguh soal itu."
Sebuah transkrip lain yang telah dideklasifikasi dan dipublikasikan oleh National Security Archive di George Washington University mencatat soal dialog yang dilakukan Perry dan Presiden Korsel pada 1998. Kala itu, keduanya membahas tentang kebuntuan diplomasi dengan Korut.
Perry saat itu menjadi utusan khusus Presiden Bill Clinton untuk Korea Utara. Kepada Presiden Korsel Kim Dae-jung, ia mengatakan bahwa AS telah merencanakan sebuah konfrontasi militer terhadap Pyongyang.
"Dengan kekuatan gabungan dari ROK dan AS, kita pasti bisa memenangkan perang," kata dia. ROK mengacu pada singkatan dari nama resmi Korsel dalam Bahasa Inggris, Republic of Korea.
Namun, Perry menekankan, perang akan menelan banyak korban. "Sebagai mantan Menteri Pertahanan, saya sangat menyadari aspek negatif perang, dan akan melakukan yang terbaik untuk menghindarinya."
Saksikan juga video menarik soal Korea Utara berikut ini:
Lebih Mengerikan dari Perang Dunia II
Di sisi lain, sejak saat itu, Korea Utara telah membuat kemajuan dramatis dalam pengembangan rudal dan senjata nuklirnya, terutama di bawah kepemimpinan Kim Jong-un.
Bulan lalu, Pyongyang melakukan uji coba rudal balistik antarbenua atau ICBM. Jarak tempuhnya di lintasan normal bisa mencapai 13.000 km. Korut juga sedang menyempurnakan hulu ledak (warhead) nuklirnya, yang bisa digunakan untuk menyerang daratan AS.
Meski kini baru sebatas retorika, Presiden Amerika Serikat Donald Rrump tidak mengenyampingkan potensi penggunaan kekuatan militer untuk menghentikan ambisi
nuklir Korea Utara. Apalagi, jika opsi diplomasi ternyata gagal.
AS saat ini sedang meningkatkan latihan militernya dengan para sekutunya, yang dikecam Pyongyang sebagai persiapan invasi.
Pekan ini, AS dan Korea Selatan mengadakan latihan angkatan udara yang melibatkan lebih dari 200 pesawat tempur, termasuk enam jet tempur siluman AS F-22 dan F-35 yang jumlahnya 18 unit.
Bicara dalam pertemuan Arms Control Association di Washington DC, mantan Menteri Pertahanan AS, William Perry, mendesak upaya baru dalam jalur diplomasi.
Dialog, kata dia, mungkin tak akan membuat Korea Utara melucuti senjata nuklirnya dalam waktu singkat, namun setidaknya, cara itu bisa menunda perang.
Menurut Perry, ancaman Korut yang berkoar akan menyerang AS dengan senjata nuklirnya bisa jadi pepesan kosong.
Ia berpendapat, Korut tak akan bernyali menyerang Amerika Serikat secara langsung. Pyongyang lebih mungkin melakukan provokasi militer terhadap Korea Selatan -- yang juga bisa memicu konflik yang lebih luas.
Menurut Perry, AS bisa saja menciptakan blunder jika melancarkan serangan militer konvensional ke kubu Kim Jong-un. Sebab, itu bisa saja membuat Korut balas membombardir Korsel.
"Perang habis-habisan dengan Korea Utara, perang nuklir -- bahkan jika China dan Rusia tak ikut serta -- masih bisa menimbulkan korban yang jumlahnya mendekati Perang Dunia I atau bahkan Perang Dunia II," kata Perry. (Ein)
PYONGYANG - Korea Utara melancarkan aksi provokasi dengan menembakkan rudal Hwasong-15 pada Rabu 29 November 2017. Misil itu diperkirakan bisa mencapai Washington DC, yang menjadi jantung pemerintahan Amerika Serikat.
Berkali-kali, Pyongyang kerap mengumbar ancaman. Di sisi lain AS beserta Korea Selatan dan Jepang kerap menggelar latihan militer yang bikin rezim Kim Jong-un meradang.
Banyak yang memprediksi, krisis di Semenanjung Korea akan menjelma jadi konflik terbuka. Dan, bukan kali ini saja perang diramalkan pecah.
Sebuah dokumen rahasia lawas yang dipublikasikan pada Jumat 8 Desember 2017 mengungkapkan bahwa AS nyaris berperang dengan Korut.
Seperti diungkap dalam dokumen rahasia itu, kala itu AS yakin, kekuatan militernya, ditambah dengan kemampuan angkatan bersenjata Korsel, pasti dapat memenangkan konflik di Semenanjung Korea. Prediksi itu dibuat pada 1994, di tengah kebuntuan soal ambisi nuklir Korut.
Namun, dalam dokumen itu tertulis -- bahkan jauh sebelum Korut mengembangkan sejata nuklir -- Pentagon saat itu memperkirakan, banyak korban yang akan jatuh.
Sebanyak 490 ribu tentara Korsel dan 52 ribu anggota pasukan AS diprediksi tewas atau terluka dalam tiga bulan pertama konflik.
Prediksi tersebut tak menyinggung soal potensi korban dari pihak Korut atau warga sipil. Namun, analis menyebut, jumlahnya bakal luar biasa.
Jika konflik pecah saat ini, hasilnya bakal lebih mengerikan. Sebab, kemampuan tempur Korut sudah jauh dibanding pada 1994. Rudal Pyongyang bahkan diklaim bisa menjangkau daratan AS.
Pada tahun itu, pemerintahan Presiden Bill Clinton mempertimbangkan sebuah serangan rudal jelajah ke sebuah kompleks nuklir Korea Utara, yang memulai proses defuelling reaktor.
Reaktor itu dilaporkan bisa menyediakan material fisil untuk pembuatan bom nuklir pertama milik Korea Utara.
Untungnya, sebelum pertempuran pecah, mantan AS Presiden Jimmy Carter bertolak ke Pyongyang untuk menemui pendiri Korut, Kim Il-sung.
Pertemuan tersebut membuahkan hasil. Korea Utara sepakat membekukan program senjata nuklirnya dan berdialog dengan AS.
Perjanjian pelucutan senjata tersebut bertahan selama hampir satu dekade, meski diwarnai percikan konflik.
"Kami telah mengambil posisi yang sangat kuat: tak akan mengizinkan Korut membuat bom nuklir," kata William Perry, yang pada 1994 menjadi menteri pertahanan, seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (9/12/2017). "Kami bersungguh-sungguh soal itu."
Sebuah transkrip lain yang telah dideklasifikasi dan dipublikasikan oleh National Security Archive di George Washington University mencatat soal dialog yang dilakukan Perry dan Presiden Korsel pada 1998. Kala itu, keduanya membahas tentang kebuntuan diplomasi dengan Korut.
Perry saat itu menjadi utusan khusus Presiden Bill Clinton untuk Korea Utara. Kepada Presiden Korsel Kim Dae-jung, ia mengatakan bahwa AS telah merencanakan sebuah konfrontasi militer terhadap Pyongyang.
"Dengan kekuatan gabungan dari ROK dan AS, kita pasti bisa memenangkan perang," kata dia. ROK mengacu pada singkatan dari nama resmi Korsel dalam Bahasa Inggris, Republic of Korea.
Namun, Perry menekankan, perang akan menelan banyak korban. "Sebagai mantan Menteri Pertahanan, saya sangat menyadari aspek negatif perang, dan akan melakukan yang terbaik untuk menghindarinya."
Saksikan juga video menarik soal Korea Utara berikut ini:
Lebih Mengerikan dari Perang Dunia II
Di sisi lain, sejak saat itu, Korea Utara telah membuat kemajuan dramatis dalam pengembangan rudal dan senjata nuklirnya, terutama di bawah kepemimpinan Kim Jong-un.
Bulan lalu, Pyongyang melakukan uji coba rudal balistik antarbenua atau ICBM. Jarak tempuhnya di lintasan normal bisa mencapai 13.000 km. Korut juga sedang menyempurnakan hulu ledak (warhead) nuklirnya, yang bisa digunakan untuk menyerang daratan AS.
Meski kini baru sebatas retorika, Presiden Amerika Serikat Donald Rrump tidak mengenyampingkan potensi penggunaan kekuatan militer untuk menghentikan ambisi
nuklir Korea Utara. Apalagi, jika opsi diplomasi ternyata gagal.
AS saat ini sedang meningkatkan latihan militernya dengan para sekutunya, yang dikecam Pyongyang sebagai persiapan invasi.
Pekan ini, AS dan Korea Selatan mengadakan latihan angkatan udara yang melibatkan lebih dari 200 pesawat tempur, termasuk enam jet tempur siluman AS F-22 dan F-35 yang jumlahnya 18 unit.
Bicara dalam pertemuan Arms Control Association di Washington DC, mantan Menteri Pertahanan AS, William Perry, mendesak upaya baru dalam jalur diplomasi.
Dialog, kata dia, mungkin tak akan membuat Korea Utara melucuti senjata nuklirnya dalam waktu singkat, namun setidaknya, cara itu bisa menunda perang.
Menurut Perry, ancaman Korut yang berkoar akan menyerang AS dengan senjata nuklirnya bisa jadi pepesan kosong.
Ia berpendapat, Korut tak akan bernyali menyerang Amerika Serikat secara langsung. Pyongyang lebih mungkin melakukan provokasi militer terhadap Korea Selatan -- yang juga bisa memicu konflik yang lebih luas.
Menurut Perry, AS bisa saja menciptakan blunder jika melancarkan serangan militer konvensional ke kubu Kim Jong-un. Sebab, itu bisa saja membuat Korut balas membombardir Korsel.
"Perang habis-habisan dengan Korea Utara, perang nuklir -- bahkan jika China dan Rusia tak ikut serta -- masih bisa menimbulkan korban yang jumlahnya mendekati Perang Dunia I atau bahkan Perang Dunia II," kata Perry. (Ein)
0 Comments:
Post a Comment