Presiden Jokowi dan Jenderal Gatot Nurmantyo
JAKARTA - Pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo di Komplek DPR RI di Senayan, Rabu, 6 Desember 2017, sungguh di luar dugaan. Ketika sejumlah anggota dewan mempersoalkan manuver Jenderal Gatot menerbitkan SK rotasi 85 perwira di jajaran TNI menjelang akhir masa jabatannya sebagai Panglima TNI, Gatot Nurmantyo membela diri.
Bagi Jenderal Gatot, dirinya sama sekali tidak melanggar etika soal terbitnya SK tersebut. Sebab Presiden Jokowi tidak memberi tahu dirinya akan ada pergantian Panglima TNI dengan pengajuan nama Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto, (06/12/2017).
Keterangan Jenderal Gatot di atas nampak menjadi titik didih pembenaran hubungan buruk antar atasan dan bawahan itu dalam setahun terakhir ini. Setidaknya memang terdapat sumbatan komunikasi. Terlebih lagi bila menyimak keterangan lanjutan Jenderal Gatot ikhwal proses mutasi puluhan perwira itu.
Proses mutasi itu sudah berjalan bertahap sebagaimana prosedurnya. Per tanggal 30 November 2017, papar Jenderal Gatot, sudah melalui mekanisme dalam Pra Dewan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti), diwakili oleh wakil KSAU dan wakil KSAD.
Jadi SK rotasi itu dibuat sebelum muncul nama Marsekal Hadi Tjahjanto yang disodor Presiden Jokowi kepada DPR RI. Andai Jenderal Gatot mengetahui munculnya nama Marsekal Hadi Tjahjanto, ia mengaku tidak akan memproses SK rotasi tersebut.
Beberapa hari kemudian, 4 Desember 2017, Jenderal Gatot dan Wanjakti menggelar rapat keputusan. Namun di hari yang sama Presiden Jokowi mengirim surat kepada DPR RI tentang permohonan persetujuan pemberhentian dengan hormat Panglima TNI Jenderal Gatot dan pengangkatan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon Panglima TNI.
Surat itu diserahkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno kepada Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Jenderal Gatot mengakui baru tahu setelah ditelepon Mensesneg setelah surat tersebut diserahkan ke DPR.
Bila memang benar Gatot tidak tahu pergantian Panglima TNI karena Presiden RI tidak memberi tahu, setidaknya melalui Mensesneg, maka sama artinya pihak Istana sedang "menjebak" dan "mempermainkan" Jenderal Gatot.
Karena nama Marsekal Hadi Tjahjanto sudah terlanjur beredar, sehari setelahnya, 5 November 2017, ada satu respon penting Jenderal Gatot yang menggelitik nalar. Di Istana Kepresiden Bogor, ia malah menyarankan agar DPR RI DPR segera mengesahkan usulan Presiden RI. Kalau terlalu lama ia khawatir terjadi dualisme kepemimpinan (05/12/2017).
Respon tersebut sangat nampak sebagai bentuk kekecewaannya karena tidak diberi tahu sehingga ia merasa terjebak. Respon itu juga menggambarkan sindiran Gatot terhadap Istana, khususnya untuk Presiden Jokowi.
Alih-alih Gatot menghindari matahari kembar, justru pemberhentian dini sebelum benar-benar masuk masa pensiun per 18 Maret 2018, sama artinya dirinya diposisikan tanpa pos dan tanpa pasukan selama kurang lebih dua bulan lamanya. Dan itu malah membuka celah dualisme pengaruh kepemimpinan Panglima TNI.
Ungkapan-ungkapan Jenderal Gatot seperti dirinya tak mau kalah dengan Jokowi dalam hal mengasuh cucu selepas menanggalkan jabatan sebagai Panglima TNI yang tinggal menunggu hari, bisa jadi ungkapan itu bermakna simbolis atau bersayap.
Entah ungkapan apalagi yang kelak ia sampaikan. Tapi menunjukan situasi konstans bahwa Jenderal Gatot sedang menahan amarah. Sebagaimana harapan banyak pejabat ingin mengakhiri masa jabatan dengan damai tanpa intrik, malah di akhir masa jabatannya Gatot seolah-olah diintrik secara politik.
Merujuk artikel saya sebelumnya “Gatot Bakal Vakum Dua Bulan Menjadi Jenderal Tanpa Pasukan” (06/12/2017), jika DPR RI menyetujui Marsekal Hadi sebagai pengganti dirinya, itu berarti pelantikan bakal dilangsungkan pada Desember ini juga. Kurang lebih akhir Desember 2017 atau awal pekan Januari 2018.
Memberhentikan jenderal bintang empat sebelum tepat waktunya akan selalu mengundang tanda tanya. Bahkan selalu mencerminkan situasi politik yang tidak kondusif. Muatan politisnya sangat kental. Ini yang pernah terjadi pada diri Kapolri Jenderal (Purn) Pol Sutarman pada 2015 dalam kisruh Cicak vs Buaya jilid III.
Begitu pula pengalaman pahit Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Riyacudu saat diusulkan oleh Presiden RI ke-6 Megawati Soekarnoputri di akhir masa jabatannya sebagai presiden. Namun usulan itu dianulir oleh SBY setelah terpilih pada Pemilu 2004. Siapapun tahu situasinya kala itu terdapat gesekan hebat antar mantan atasan dan bawahan itu.
Lantas, apa motivasi Presiden Jokowi tidak menyampaikan informasi calon pengganti nama Panglima TNI itu kepada Jenderal Gatot, setidaknya melalui Mensesneg Pratikno?
Jangan dijawab menggunakan hak prerogatif presiden. Sebab pembahasannya bukan subtansi pergantian Panglima TNI tetapi tertib administrasi negara.
Seistimewa apapun hak presiden, administrasi adalah salah satu “hukum tertua” di dunia ini, tak lain agar segalanya berjalan tertib. Pun setelah hak prerogatif digunakan, semuanya tetap ditindaklanjut melalui mekanisme peng-administrasi-an.
Jika memang benar Jenderal Gatot tidak diberi tahu sejak awal, kemungkinan besarnya memang Jokowi secara personal hendak memberi “pelajaran” untuk sang Jenderal. Bahwa loyalitas yang ditambat Jenderal Gatot terhadap Presiden Jokowi dianggap hanya sebatas manis di bibir. Tapi realitasnya Gatot terlalu asyik berpolitik.
Meskipun Jenderal Gatot sering sekali membantah bahwa manuvernya selama menjabat Panglima TNI adalah dalam rangka melaksanakan politik negara, toh hasil yang ditunai berupa moncernya nama Jenderal Gatot sekarang sebagai aksioma atau hasil politik itu sendiri.
Poros Megawati Soekarnoputri juga sudah berkali-kali memperingati manuver itu tetap akan dibaca sebagai pra pengkondisian dirinya untuk Pilpres 2019. Makin dekat Pilpres, Jenderal Gatot makin atraktif. Dan itu dinilai menyalahi sapta marga.
Mungkin saja para politisi PDI Perjuangan akan menyindir: baru “dikerjai” begitu saja oleh Jokowi dengan tidak membagi informasi kepada Jenderal Gatot, ia sudah baper (bawa perasaan).
Sementara Jokowi sering “dikerjai” Gatot dengan manuver “politik negara” ala Panglima TNI. Kalau sudah begini jalan ceritanya: nampaknya pertarungan Pilpres 2019 semakin panas.(Ry)
JAKARTA - Pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo di Komplek DPR RI di Senayan, Rabu, 6 Desember 2017, sungguh di luar dugaan. Ketika sejumlah anggota dewan mempersoalkan manuver Jenderal Gatot menerbitkan SK rotasi 85 perwira di jajaran TNI menjelang akhir masa jabatannya sebagai Panglima TNI, Gatot Nurmantyo membela diri.
Bagi Jenderal Gatot, dirinya sama sekali tidak melanggar etika soal terbitnya SK tersebut. Sebab Presiden Jokowi tidak memberi tahu dirinya akan ada pergantian Panglima TNI dengan pengajuan nama Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto, (06/12/2017).
Keterangan Jenderal Gatot di atas nampak menjadi titik didih pembenaran hubungan buruk antar atasan dan bawahan itu dalam setahun terakhir ini. Setidaknya memang terdapat sumbatan komunikasi. Terlebih lagi bila menyimak keterangan lanjutan Jenderal Gatot ikhwal proses mutasi puluhan perwira itu.
Proses mutasi itu sudah berjalan bertahap sebagaimana prosedurnya. Per tanggal 30 November 2017, papar Jenderal Gatot, sudah melalui mekanisme dalam Pra Dewan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti), diwakili oleh wakil KSAU dan wakil KSAD.
Jadi SK rotasi itu dibuat sebelum muncul nama Marsekal Hadi Tjahjanto yang disodor Presiden Jokowi kepada DPR RI. Andai Jenderal Gatot mengetahui munculnya nama Marsekal Hadi Tjahjanto, ia mengaku tidak akan memproses SK rotasi tersebut.
Beberapa hari kemudian, 4 Desember 2017, Jenderal Gatot dan Wanjakti menggelar rapat keputusan. Namun di hari yang sama Presiden Jokowi mengirim surat kepada DPR RI tentang permohonan persetujuan pemberhentian dengan hormat Panglima TNI Jenderal Gatot dan pengangkatan KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon Panglima TNI.
Surat itu diserahkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno kepada Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Jenderal Gatot mengakui baru tahu setelah ditelepon Mensesneg setelah surat tersebut diserahkan ke DPR.
Bila memang benar Gatot tidak tahu pergantian Panglima TNI karena Presiden RI tidak memberi tahu, setidaknya melalui Mensesneg, maka sama artinya pihak Istana sedang "menjebak" dan "mempermainkan" Jenderal Gatot.
Karena nama Marsekal Hadi Tjahjanto sudah terlanjur beredar, sehari setelahnya, 5 November 2017, ada satu respon penting Jenderal Gatot yang menggelitik nalar. Di Istana Kepresiden Bogor, ia malah menyarankan agar DPR RI DPR segera mengesahkan usulan Presiden RI. Kalau terlalu lama ia khawatir terjadi dualisme kepemimpinan (05/12/2017).
Respon tersebut sangat nampak sebagai bentuk kekecewaannya karena tidak diberi tahu sehingga ia merasa terjebak. Respon itu juga menggambarkan sindiran Gatot terhadap Istana, khususnya untuk Presiden Jokowi.
Alih-alih Gatot menghindari matahari kembar, justru pemberhentian dini sebelum benar-benar masuk masa pensiun per 18 Maret 2018, sama artinya dirinya diposisikan tanpa pos dan tanpa pasukan selama kurang lebih dua bulan lamanya. Dan itu malah membuka celah dualisme pengaruh kepemimpinan Panglima TNI.
Ungkapan-ungkapan Jenderal Gatot seperti dirinya tak mau kalah dengan Jokowi dalam hal mengasuh cucu selepas menanggalkan jabatan sebagai Panglima TNI yang tinggal menunggu hari, bisa jadi ungkapan itu bermakna simbolis atau bersayap.
Entah ungkapan apalagi yang kelak ia sampaikan. Tapi menunjukan situasi konstans bahwa Jenderal Gatot sedang menahan amarah. Sebagaimana harapan banyak pejabat ingin mengakhiri masa jabatan dengan damai tanpa intrik, malah di akhir masa jabatannya Gatot seolah-olah diintrik secara politik.
Merujuk artikel saya sebelumnya “Gatot Bakal Vakum Dua Bulan Menjadi Jenderal Tanpa Pasukan” (06/12/2017), jika DPR RI menyetujui Marsekal Hadi sebagai pengganti dirinya, itu berarti pelantikan bakal dilangsungkan pada Desember ini juga. Kurang lebih akhir Desember 2017 atau awal pekan Januari 2018.
Memberhentikan jenderal bintang empat sebelum tepat waktunya akan selalu mengundang tanda tanya. Bahkan selalu mencerminkan situasi politik yang tidak kondusif. Muatan politisnya sangat kental. Ini yang pernah terjadi pada diri Kapolri Jenderal (Purn) Pol Sutarman pada 2015 dalam kisruh Cicak vs Buaya jilid III.
Begitu pula pengalaman pahit Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Riyacudu saat diusulkan oleh Presiden RI ke-6 Megawati Soekarnoputri di akhir masa jabatannya sebagai presiden. Namun usulan itu dianulir oleh SBY setelah terpilih pada Pemilu 2004. Siapapun tahu situasinya kala itu terdapat gesekan hebat antar mantan atasan dan bawahan itu.
Lantas, apa motivasi Presiden Jokowi tidak menyampaikan informasi calon pengganti nama Panglima TNI itu kepada Jenderal Gatot, setidaknya melalui Mensesneg Pratikno?
Jangan dijawab menggunakan hak prerogatif presiden. Sebab pembahasannya bukan subtansi pergantian Panglima TNI tetapi tertib administrasi negara.
Seistimewa apapun hak presiden, administrasi adalah salah satu “hukum tertua” di dunia ini, tak lain agar segalanya berjalan tertib. Pun setelah hak prerogatif digunakan, semuanya tetap ditindaklanjut melalui mekanisme peng-administrasi-an.
Jika memang benar Jenderal Gatot tidak diberi tahu sejak awal, kemungkinan besarnya memang Jokowi secara personal hendak memberi “pelajaran” untuk sang Jenderal. Bahwa loyalitas yang ditambat Jenderal Gatot terhadap Presiden Jokowi dianggap hanya sebatas manis di bibir. Tapi realitasnya Gatot terlalu asyik berpolitik.
Meskipun Jenderal Gatot sering sekali membantah bahwa manuvernya selama menjabat Panglima TNI adalah dalam rangka melaksanakan politik negara, toh hasil yang ditunai berupa moncernya nama Jenderal Gatot sekarang sebagai aksioma atau hasil politik itu sendiri.
Poros Megawati Soekarnoputri juga sudah berkali-kali memperingati manuver itu tetap akan dibaca sebagai pra pengkondisian dirinya untuk Pilpres 2019. Makin dekat Pilpres, Jenderal Gatot makin atraktif. Dan itu dinilai menyalahi sapta marga.
Mungkin saja para politisi PDI Perjuangan akan menyindir: baru “dikerjai” begitu saja oleh Jokowi dengan tidak membagi informasi kepada Jenderal Gatot, ia sudah baper (bawa perasaan).
Sementara Jokowi sering “dikerjai” Gatot dengan manuver “politik negara” ala Panglima TNI. Kalau sudah begini jalan ceritanya: nampaknya pertarungan Pilpres 2019 semakin panas.(Ry)
0 Comments:
Post a Comment