Isyarat Apa Pengacara Novanto Sebut-Sebut Jenderal Budi Gunawan di Catatan Najwa

  Fredrich Yunadi & Najwa Shihab. Insert: Jenderal Pol.Budi Gunawan [Tribunnews.com & Insert: Elshinta.com]

JAKARTA - Biasa disebut BG, kita tak pernah tahu apakah Budi Gunawan batuk atau tidak kalau menonton channel Youtube Najwa Shihab dalam program barunya Catatan Najwa, 24 November 2017.

Pada episode “Setia Pengacara Setya” tertanggal itu, Fredrich Yunadi dalam paparan pembukanya menyebut-nyebut BG yang kini menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu. Pangkatnya kini bukan lagi Komisaris Jenderal (Komjen), tapi sudah Jenderal.

Menit-menit pertama dalam wawancara Najwa, pengacara Setya Novanto itu menuding ICW banyak mendapat bantuan asing. Termasuk dari Israel. Sekarang ini, kata Fredrich, banyak bantuan tersebut bermasalah dan tengah diselidiki.

Dalam talk show ini, selain Fredrich Yunadi, Najwa memang mendatangkan nara sumber Koordinator ICW Donal Fariz. Meski Donal telah meluruskannya dan bahkan menyebut Fredrich hanya mengarang, Fredrich masih mendebat Donal.

“Data-data ICW kita punya semua. Saat kita menangani BG semua data kita punya dan kita dapat,” beber Fredrich.

Frase “semua data” memang masih sangat tersamar. Namun dengan klu Fredrich menyebut BG, tersirat data itu mencakup kasus-kasus KPK dalam kisruh Cicak versus Buaya jilid III. Di pusaran badai konflik KPK era Abraham Samad Vs Komjen Budi Gunawan tahun 2015, Fredrich mengklaim dirinya berada di tim inti Bareskrim Polri.

Fredrich Yunadi hendak menunjukan diri bukanlah pengacara kelas teri. Tapi pengacara dengan klien sekelas Ketua Umum DPP Golkar dan Jenderal. Menjadi pengacara orang-orang penting di republik, ada satu isyarat puncak yang Fredrich petik sebagaimana tersirat dari paparan-nya. Diringkas oleh satu kata: pamor.

Dari pamor memenangkan perkara hukum orang-orang penting republik, tarif Fredrich menangani perkara korporasi semakin tinggi nilainya. Menangani suatu korporasi, Fredrich mengakui bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Kecil?

Jangan terburu-buru menyimpulkan. Tinggal di kalikan 20 perusahaan yang ia tangani dalam sebulan. Pendapatan per bulan itu semakin mempertebal kantong Fredrich yang bersumber dari warisan keluarga dan sejumlah usaha yang ia kelola. Itu baru dari klien korporasi. Belum yang lain. Seperti kasus-kasus pidana, perdata, arbitrase dan sebagainya.

Dari pamor dia bisa pamer kemewahan. Dalam wawancara Najwa, Fredrich memamerkan diri: sekali perjalanan ke luar negeri saja ia bisa menghabiskan Rp 3-5 miliar. Angka ini tidak ada apa-apanya dibanding gaji pokok Presiden RI sebesar Rp 62 juta per bulan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.75 Tahun 2000 tentang Gaji Pejabat Negara.

Atau kurang lebih setara dengan dana operasional Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Yaitu sebesar 0,13 persen dari PAD atau setara dengan Rp 4,5 miliar dalam sebulan, dilansir dari Tribunnews.com (22/11/207)

Maka tak mengherankan dalam menangani perkara hukum pejabat tinggi seperti Budi Gunawan, Fredrich mengakui tidak mengharapkan bayaran. Semakin besar nama klien, semakin free. “Setelah saya menolong beliau, efeknya tidak bisa diduga," tukasnya dalam wawancara Najwa.

Fredrich mencontohkan efek yang dia petik dari pengalamannya memenangi perkara calon Kapolri 2015 itu dalam sidang praperadilan. "Dapat nama. Saya dihormati institusi kepolisian karena saya menyelamatkan mukanya polisi," tutur Fredrich sangat bangga.

Dalam konteks politik-hukum, dengan memenangi perkara hukum para pejabat tinggi itu pengacara seperti Fredrich menguasai data-data strategis. Jejaring yang terbina dari sana mirip investasi jangka menengah-panjang. Karenanya keuntungan yang diraup sulit diukur dengan materi.

Setidaknya, menangani perkara orang-orang penting para pejabat tinggi negara, ada tiga isyarat makna yang bisa dipetik.

Pertama, data strategis. Tambang data yang dikuasai dapat menjadi alat tawar sekaligus alat tekan dalam membela suatu perkara hukum, sekaligus memperlebar pasar layanan firma hukum. Data-data strategis bersumber dari para pejabat tinggi yang menjadi klien semakin paripurna manakala berkombinasi dengan data-data korporat yang dimiliki.

Di sektor bisnis misalnya. Firma hukum Yunadi & Associates mengklaim satu-satunya kantor advokat yang ditunjuk oleh Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI), dilansir dari situs resmi firma hukum-nya, Yunadi.com. Ini belum terhitung sektor keuangan perbankan yang menggunakan jasa firma hukum Fredrich sekaligus mitranya di perbankan.

Dalam pemerintahan jenis oligarkis seperti Indonesia, data politik-hukum serta bisnis-keuangan merupakan perpaduan sempurna dalam melestarikan relasi oligarkis: elit kekuasaan dan elit bisnis.

Kedua, menguasai jaringan. Dengan investasi jaringan, pengacara sekelas Fredrich menguasai lini-lini strategis unit-unit cabang kekuasaan yudikatif itu sendiri: Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.

Secara blak-blakan firma Yunadi & Associates, berdiri tahun 1994 itu menulis dalam situs profil firma-nya: didukung oleh 25 hakim Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi serta polisi dan ahli-ahli hukum sebagai rekan.

Ketiga, balas budi. Isyarat ini yang patut membuat publik cemas. Dalam kasus Setya Novanto sekarang ini misalnya. Tak terbayangkan bila Fredrich yang dulunya menggratiskan tarif mendampingi kasus Komjen Budi Gunawan meminta balas jasa Kepala BIN yang sekarang berpangkat Jenderal itu untuk membantu perkara hukum Novanto.

Tentu Jenderal BG profesional. Karena bukan menjadi domainnya. Tidak ada urusan sama sekali dengan kinerja BIN. Tapi kalau sampai tergerak membantu secara bawah tanah, kiamat sudah dunia hukum Indonesia.
(Ry)

Updated: November 26, 2017

0 Comments:

Post a Comment